Indonesia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-72 pada 17 Agustus tahun ini. Usia sangat dewasa bagi sebuah negara merdeka. Namun, ternyata masih ada penduduk Indonesia yang belum menikmati berbagai layanan teknologi informasi berupa siaran televisi, radio, dan Internet.
Salah satunya di Miangas, sebuah pulau kecil paling utara Indonesia yang berdekatan dengan Filipina. Selama 72 tahun, warga di Miangas hanya mendengar siaran radio berbahasa Filipina, China dan terkadang Jepang.
“Radio disini banyaknya lagu-lagu Filipina dan lagu China. Kami tidak mengerti bahasanya. Tapi tetap kami nikmati saja dengan menganggukan kepala sambil mengikuti alunan lagu,” ujar Makey Kelah, warga Miangas.
Selain radio, siaran televisi juga terbatas. Masyarakat harus menggunakan parabola dengan daya jangkau luas. Sayang, semua siaran masuk, termasuk dari negara-negara tetangga juga. Tidak ada filter. Untuk jaringan telepon juga sama saja. Yang ada hanya sinyal 2G, cukup untuk mengirim pesan dan panggilan.
“Itu pun kami harus naik menara atau atap rumah kalau ingin sinyalnya stabil,” kata Kepala SMKN 2 Miangas Koneng Malande.
Posisi Miangas memang jauh. Lihat saja di aplikasi peta digital Google, hanya titik kecil dari bagian kepulauan Nusantara. Miangas, masuk Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Luasnya hanya 3,2 km2 dengan jumlah penduduk 763 jiwa. Kurang dari 1 hari, Anda bisa mengelilingi seluruh isi pulau dengan jalan kaki.
Jaraknya lebih dekat dengan daratan Filipina, hanya 138 km. Sementara jarak ke Melonguane, Ibu Kota Kabupaten Talaud sekitar 170 km dan butuh 6 jam perjalanan laut menggunakan kapal cepat. Adapun jarak ke Manado, Ibu Kota Sulut sekitar 555 km dan butuh waktu 20 jam dengan kapal cepat itu.
Warga di sana juga rata-rata berpenghasilan pas-pasan. Hanya mengandalkan sumber daya alam. Wajar jika selama ini, Miangas tertinggal dan terpencil.
Namun, justru dari Miangas kedaulatan NKRI bisa saja terancam. Daerah itu rawan konflik, karena berdekatan dengan markas Abu Sayyaf dan dekat dengan lokasi darurat militer di Marawi, Filipina.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah lantas bergerak cepat. Tahap pertama adalah membangun bandara. Hampir sepertiga wilayah Miangas dikonversi menjadi bandara dengan biaya Rp215 miliar. Dibangun sejak 2013, bandara itu akhirnya diresmikan Presiden Joko Widodo langsung pada akhir 2016 lalu.
Saat itulah Jokowi geram melihat fakta-fakta tadi. Presiden kemudian menugaskan Kemenkominfo dan instansi terkait untuk memperkuat infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Miangas. Sebab, ancaman terorisme dan infiltrasi asing tidak hanya fisik tetapi juga nonfisik.
“Meski jaraknya jauh, tetapi perannya sangat penting dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Untuk itu, mereka harus diberikan akses informasi dan teknologi yang memadai,” ujar Menkominfo Rudiantara saat meresmikan penguatan infrastruktur TIK di Miangas, Senin (31/7).
Selain bandara, Miangas kini dimanjakan berbagai fasilitas TIK, mulai dari siaran radio langsung dari RRI, siaran TV digital, akses Internet dan wifi gratis serta jaringan data 4G. Komunikasi dan arus informasi akan makin tinggi.
Selama ini, gangguan komunikasi memang kerap menjadi penghambat. Apalagi dengan sistem pemerintahan saat ini yang serba online dan digital.
“Kami sekarang tinggil kirim email saja ke Dinas Pendidikan Provinsi Sulut atau Kabupaten Talaud. Dulu kami harus bawa berkas fisik menggunakan speed boat,” kata Koneng Malande.
Dengan berbagai akses tadi, tinggal tugas pemda yang mengawasi, mendidik, dan mengharakan penduduk dan pemuda agar bijak memanfaatkan Internet.
Sebab, sebagian dari mereka bahkan ada yang masih buta komputer. Jangan sampai, Internet di Miangas justru jadi bumerang seiring melimpahnya berita palsu alias hoax.